Monday, June 07, 2004

sepotong tahu panas

sepotong tahu panas itu kini berada dalam genggaman tanganku. udara sekitarku dingin sekali. menggigil. udara depok akhir-akhir ini sangat tidak ramah. hujan yang terus mengguyur sejak siang tadi makin membuat perutku melilit terasa sangat lapar. sepotong tahu panas itu kini berada dalam genggaman tanganku.

sepotong tahu panas itu kini berada dalam genggaman tanganku. tak lupa kuambil sepotong cabe rawit sebagai kawan makan tahu ini. aku berjongkok di bawah tiang penyangga atap stasiun pondok cina sore itu. tiang besi kokoh berwarna biru yang catnya mulai pudar di sana sini menjadi tempatku menaruh punggung. melepas lelah.

sepotong tahu panas itu kini berada dalam genggaman tanganku. rasanya sayang untuk memakannya sekaligus. uang yang kukumpulkan dari membersihkan gerbong kereta hari ini masih sangat sedikit. mungkin sekarang ini tanggal tua yah? orang semakin pelit untuk sekedar menjatuhkan uang logam mereka ke dalam tengadah telapak tanganku. oh, biarlah ... tak baik terus mengeluh ... coba senyum ...

sepotong tahu panas itu kini berada dalam genggaman tanganku. sepertinya sekarang saat yang tepat untuk mulai menikmati rejeki hari ini ... ku mulai dengan memakan cabe rawit ini dulu ... ibuku, yang sekarang entah berada di mana pernah bilang kepadaku waktu aku masih kecil, makanlah cabenya dulu ... rasakan pedasnya hidup ini ... kerasnya hidup kemudian tahu ... makanlah tahu itu sebagai pengingat dimanapun ada kesusahan, akan selalu ada penghiburan nantinya.

sepotong tahu panas itu kini berada dalam genggaman tanganku. dan sekarang cabe rawit ini telah terkunyah dalam mulutku. sempurna. aku telah memilih sepotong cabe rawit terpedas yang ada di mangkuk kecil itu ... tiba saatnya menyantap tahu goreng ini ...

sepotong tahu panas itu kini berada dalam genggaman tanganku. serombongan orang-orang terpelajar yang bernama mahasiswa itu beramai-ramai memenuhi stasiun kecil ini. mereka hendak pulang ke rumah. rumah. sebentuk bangunan dengan kasih dan sayang yang hangat tentunya di dalamnya. tapi mereka ini sepertinya tidak ada yang melihat diriku yang terjongkok bersandar di tiang penyangga atap stasiun ini... salah satu dari mereka merangsek ke pinggir dan kakinya secara tidak sengaja menabrak tanganku. tahuku. jatuh.

sepotong tahu panas itu kini tidak lagi dalam genggaman tanganku. mulutku hanya bisa berdecap decap kepedasan ... dan perut ini semakin perih ...